Semua orang pernah
melakukan kebohongan.
Kita bisa bertanya
pada diri sendiri: sudah berapa kali kita berbohong minggu ini? Kepda siapa
kita berbohong? Apa maksud kebohongan itu? Apa yang kita rasakan terhadap
tindakan kita itu? Apakah kita sadar terhadap kebohongan-kebohongan yang kita
lakukan?
Ada orang yang bisa
menghitung dengan jari dan berusaha keras untuk tidak berbohong. Sebaliknya ada
orang yang mudah sekali berbohong, bahkan tidak ada lagi terlihat tanda-tanda
perubahan raut muka bila berbohong.para psikolog menyebut individu ini sebagai
pembohong kompulsif atau patologik. Orang-orang ini menceritakan kebohongan
pada situasi apapun, yang tidak mendesakkkan atau memojokkan sekalipun. Bahkan mereka
bisa begitu meyakinkan, sampai-sampai ia sendiri percaya pada kebohongannya.
Batasan antara fakta
dan data dengan rekaan sudah menjadi demikian kaburnya. Bahkan, bagi mereka,
kebohongan yang diceritakan bisa dikembangkan menjadi suatu keluhan, bahkan
tuntutan. Kita baru saja mengalami kasus kebohongan nasional yang dilakukan
oleh seorang tokoh berpengalaman, terkenal, dan senior pula. Kebohongan yang
banyak orang sebenarnya terlihat sangat tidak masuk akal, tapi entah bagaimana dipercaya
oleh banyak tokoh penting. Banyak sekali yang tidak paham mengapa ia berbohong?
Ada sesuatu yang salah dalam kepribadiannya atau ini bagian dari sebuah
rekayasa besar?
Alasan berbohong
Dalam kehidupan di
sekitar, kita sering melihat orang berbohong karena rasa takut, bisa karena
atasan atau otoritas lain yang dirasa menekan atau marah besar dan
dikhawatirkan akan mencelakakan dirinya. Dalam situasi seperti ini, individu
yang merasa takut ketahuan jalan pikirannya, tujuan, ataupun alasan perbuatannya
dapat berbohong lebih jauh untuk menyelamatkan dirinya.
Ada juga situasi yang
dibuat dengan sengaja untuk keperluan tertentu. Fakta-fakta dibuat untuk
memanipulasi, demi mendapatkan persetujuan dan dukungan dari orang lain. Kaum pria
dijuluki sebagai womanizer biasanya
sangat ahli dalam hal ini. Para pencinta hoaks mengemas berita demikian baiknya
sehingga tampak logis. Kebohongan seperti ini biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang sudah mahir berbohong.
Ada yang berbohong
untuk membangkitan image. Social media berperan penting dalam hal
ini, betapa orang mengemas fotonya agar terlihat hidupnya begitu menyenangkan,
berkelas dan penuh warna, padahal kehidupan aslinya bisa jadi jauh berbeda.
Berbohong merusak otak
Secara alamiah, otak
manusia menangkap fakta dan disimpan dalam memorinya. Demikian juga dengan kobohongan.
Namun, karena tempat menyimpan fakta dan kebohongan tidak selalu berdekatan
satu sama lain, bila seorang menyimpan kebohongan, memori otaknya bekerja dua
kali lipat karena otak si pembohong harus bekerja keras mencari-cari kebohongan
yang pernah diucapkan.
Situasi ini disebut
sebagai cognitive dissonance, rasa
galau karena perlu mempertahankan dua pemikiran dalam ekspresinya. Disinilah jantung
berdetak lebih cepat, terkadang ekspresi berubah, dan keringat dingin pun bisa
mengucur. Inilah yang diukur oleh lie
detector ketika seorang diingatkan pada kata-kata yang pernah berhubungan
dengan memorinya. Mengapa orang bisa lolos alat ini? Karena kebiasaan
berbohongnya sudah demikian menahun sehingga lokasi antara fakta dan memori dalam
otaknya sudah demikian berdekatan.
Keuntungan jangka pendek
seperti ketenaran, selamat dari masalah, atau bahkan finansial, bisa
mengakibatkan si pembohong ketagihan dan akhirnya tercipta kebiasaan yang buruk.
Kebenaran dijauhi dan situasinya semakin sakit. Kita tidak bisa menjadi manusia
yang bersih dari kebohongan. Namun, kita perlu waspada bila kita sudah mencapai
tingkat menghalalkan kebohongan baik dalam hidup sehari-hari karena tentunya ia
akan berpengaruh bagi kesehatan mental kita. Semakin kita berpegang pada
kebenaran, otak dan tubuh kita semakin sehat dan bahagia.
Berjaga dari kebohongan
Kita semua tahu bahwa
kita adalah makhluk yang sangat kompleks. Kehidupan kita pun semakin hari
semakin kompleks. Terkadang kita dihadapkan pada situasi yang bisa memaksa kita
untuk berbohong demi kesopanan ataupun menjaga harga diri seseorang. Terkadang efek
jangka panjang sudah tidak bisa kita pertimbangkan lagi, Karena kita ingin
menyelamatkan diri di momentum itu.
Ada beberapa
pertimbangan yang bisa kita jadikan saringan sebelum menyatakan kebohongan.
Apa tujuan anda? Apakah dengan kebohongan ini kita menjatuhkan
orang? Atau untuk mendapatkan kepercayaan lebih jauh? Apakah kita hanya
menyelamatkan diri sendiri atau untuk membantu orang lain? Bisa saja, kita
ingin menutupi fakta yang memang tidak bisa diungkapkan saat itu karena akan
merugikan pihak lain.
Adakah cara lain? Terkadang kita terlalu cepat berekspresi sehingga
seperti terpaksa menyatakan kebohongan tertentu. Kita bisa mempunyai strategi
untuk mengalihakan pembicaraan, menunda jawaban, ataupun diam saja.
Bagaiman efek jangka panjangnya? Kebohongan mungkin tampaknya
memberikan hasil yang baik pada saat itu, tetapi kita perlu mempertimbangkan
bagaimana bila orang tersebut, terutama mereka yang kita sayangi, mendapatkan
kebenarannya pada kemudian hari? Apakah ini tidak akan menyakitkan?
Marilah kita
sama-sama membangun lingkungan yang mengangkat kebenaran, dimulai dari diri
sendiri, dan membiasakan koreksi ketika menyaksikan kebohongan.
Sumber : Kompas