13 Oktober 2018

Kebohongan

“Bilang saja mama tidak ada dirumah,” sebuah pernyataan yang mungkin terasa tidak asing kita dengar semenjak kecil, tetapi sebenarnya ini adalah awal dari sebuah pelajaran berbohong. Orang tua pasti menyadari bahwa berbohong tidak baik dan berusaha mengajari anak untuk tidak melakukannya. Namun, sering sekali dalam kehidupan sehari-hari, berbohong tidak bisa kita hindari. Mengatakan rasa makanan enak kepada pelayan yang menanyakan bagaimana makanan yang terhidang atau, memuji baju teman yang sebenarnya biasa saja. Bukankah ini juga tindakan berbohong meskipun bisa dikatakan ringan dan tidak memiliki konsekuensi yang besar.

Semua orang pernah melakukan kebohongan.

Kita bisa bertanya pada diri sendiri: sudah berapa kali kita berbohong minggu ini? Kepda siapa kita berbohong? Apa maksud kebohongan itu? Apa yang kita rasakan terhadap tindakan kita itu? Apakah kita sadar terhadap kebohongan-kebohongan yang kita lakukan?

Ada orang yang bisa menghitung dengan jari dan berusaha keras untuk tidak berbohong. Sebaliknya ada orang yang mudah sekali berbohong, bahkan tidak ada lagi terlihat tanda-tanda perubahan raut muka bila berbohong.para psikolog menyebut individu ini sebagai pembohong kompulsif atau patologik. Orang-orang ini menceritakan kebohongan pada situasi apapun, yang tidak mendesakkkan atau memojokkan sekalipun. Bahkan mereka bisa begitu meyakinkan, sampai-sampai ia sendiri percaya pada kebohongannya.

Batasan antara fakta dan data dengan rekaan sudah menjadi demikian kaburnya. Bahkan, bagi mereka, kebohongan yang diceritakan bisa dikembangkan menjadi suatu keluhan, bahkan tuntutan. Kita baru saja mengalami kasus kebohongan nasional yang dilakukan oleh seorang tokoh berpengalaman, terkenal, dan senior pula. Kebohongan yang banyak orang sebenarnya terlihat sangat tidak masuk akal, tapi entah bagaimana dipercaya oleh banyak tokoh penting. Banyak sekali yang tidak paham mengapa ia berbohong? Ada sesuatu yang salah dalam kepribadiannya atau ini bagian dari sebuah rekayasa besar?

Alasan berbohong
Dalam kehidupan di sekitar, kita sering melihat orang berbohong karena rasa takut, bisa karena atasan atau otoritas lain yang dirasa menekan atau marah besar dan dikhawatirkan akan mencelakakan dirinya. Dalam situasi seperti ini, individu yang merasa takut ketahuan jalan pikirannya, tujuan, ataupun alasan perbuatannya dapat berbohong lebih jauh untuk menyelamatkan dirinya.

Ada juga situasi yang dibuat dengan sengaja untuk keperluan tertentu. Fakta-fakta dibuat untuk memanipulasi, demi mendapatkan persetujuan dan dukungan dari orang lain. Kaum pria dijuluki sebagai womanizer biasanya sangat ahli dalam hal ini. Para pencinta hoaks mengemas berita demikian baiknya sehingga tampak logis. Kebohongan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah mahir berbohong.

Ada yang berbohong untuk membangkitan image. Social media berperan penting dalam hal ini, betapa orang mengemas fotonya agar terlihat hidupnya begitu menyenangkan, berkelas dan penuh warna, padahal kehidupan aslinya bisa jadi jauh berbeda.

Berbohong merusak otak
Secara alamiah, otak manusia menangkap fakta dan disimpan dalam memorinya. Demikian juga dengan kobohongan. Namun, karena tempat menyimpan fakta dan kebohongan tidak selalu berdekatan satu sama lain, bila seorang menyimpan kebohongan, memori otaknya bekerja dua kali lipat karena otak si pembohong harus bekerja keras mencari-cari kebohongan yang pernah diucapkan.

Situasi ini disebut sebagai cognitive dissonance, rasa galau karena perlu mempertahankan dua pemikiran dalam ekspresinya. Disinilah jantung berdetak lebih cepat, terkadang ekspresi berubah, dan keringat dingin pun bisa mengucur. Inilah yang diukur oleh lie detector ketika seorang diingatkan pada kata-kata yang pernah berhubungan dengan memorinya. Mengapa orang bisa lolos alat ini? Karena kebiasaan berbohongnya sudah demikian menahun sehingga lokasi antara fakta dan memori dalam otaknya sudah demikian berdekatan.

Keuntungan jangka pendek seperti ketenaran, selamat dari masalah, atau bahkan finansial, bisa mengakibatkan si pembohong ketagihan dan akhirnya tercipta kebiasaan yang buruk. Kebenaran dijauhi dan situasinya semakin sakit. Kita tidak bisa menjadi manusia yang bersih dari kebohongan. Namun, kita perlu waspada bila kita sudah mencapai tingkat menghalalkan kebohongan baik dalam hidup sehari-hari karena tentunya ia akan berpengaruh bagi kesehatan mental kita. Semakin kita berpegang pada kebenaran, otak dan tubuh kita semakin sehat dan bahagia.

Berjaga dari kebohongan    
Kita semua tahu bahwa kita adalah makhluk yang sangat kompleks. Kehidupan kita pun semakin hari semakin kompleks. Terkadang kita dihadapkan pada situasi yang bisa memaksa kita untuk berbohong demi kesopanan ataupun menjaga harga diri seseorang. Terkadang efek jangka panjang sudah tidak bisa kita pertimbangkan lagi, Karena kita ingin menyelamatkan diri di momentum itu.

Ada beberapa pertimbangan yang bisa kita jadikan saringan sebelum menyatakan kebohongan.

Apa tujuan anda? Apakah dengan kebohongan ini kita menjatuhkan orang? Atau untuk mendapatkan kepercayaan lebih jauh? Apakah kita hanya menyelamatkan diri sendiri atau untuk membantu orang lain? Bisa saja, kita ingin menutupi fakta yang memang tidak bisa diungkapkan saat itu karena akan merugikan pihak lain.

Adakah cara lain? Terkadang kita terlalu cepat berekspresi sehingga seperti terpaksa menyatakan kebohongan tertentu. Kita bisa mempunyai strategi untuk mengalihakan pembicaraan, menunda jawaban, ataupun diam saja.

Bagaiman efek jangka panjangnya? Kebohongan mungkin tampaknya memberikan hasil yang baik pada saat itu, tetapi kita perlu mempertimbangkan bagaimana bila orang tersebut, terutama mereka yang kita sayangi, mendapatkan kebenarannya pada kemudian hari? Apakah ini tidak akan menyakitkan?

Marilah kita sama-sama membangun lingkungan yang mengangkat kebenaran, dimulai dari diri sendiri, dan membiasakan koreksi ketika menyaksikan kebohongan.


Sumber : Kompas