Revolusi industri gelombang keempat, yang juga disebut industri 4.0,
kini telah tiba. Industri 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang
sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses
produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk
kecerdasan buatan, perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi
finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Istilah industri
4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 yang ditandai
dengan revolusi digital.
Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman
(2013), mencatat, sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri.
Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua,
penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga,
penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960 hingga
sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi industri ketiga dimulai pada
1969 melalui kemunculan teknologi informasi dan mesin otomasi.
Sebagaimana tiga revolusi industri sebelumnya, kehadiran industri 4.0
juga diyakini bakal menaikkan produktivitas. Survei McKinsey (Maret
2017) terhadap 300 pemimpin perusahaan terkemuka di Asia Tenggara
menunjukkan, sebanyak 9 dari 10 responden percaya terhadap efektivitas
industri 4.0. Praktis hampir tidak ada yang meragukannya. Namun, ketika
ditanya, apakah mereka siap mengarunginya, ternyata hanya 48 persen yang
merasa siap. Berarti, industri 4.0 masih menyisakan tanda tanya tentang
masa depannya.
Keraguan ini sejalan dengan yang ditulis Krugman (”A New Industrial Revolution: The Rise of the Robots”, The New York Times,
17/1/2013), bahwa penggunaan mesin pintar memang bisa meningkatkan
produk domestik bruto (PDB). Namun, pada saat yang sama, hal tersebut
sekaligus dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk
yang pintar sekalipun. Akan tetapi, semua hal itu tidaklah akan terjadi
seketika, ada tahapannya. Selama proses panjang itu terjadi, perdebatan
akan terus berlangsung.
Jadi, kedatangan teknologi digital pada pabrik-pabrik memang memberi
janji peningkatan produktivitas meski belum tentu besar. Studi Boston
Consulting Group (September 2015) tentang dampak industri 4.0 terhadap
perekonomian Jerman pada 2025, ternyata ”hanya” akan terjadi penambahan
pertumbuhan ekonomi 1 persen selama lebih dari satu dasawarsa.
Yang juga menarik disimak adalah ternyata gejala deindustrialisasi
(penurunan persentase kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan
PDB) yang belakangan ini terjadi di Indonesia juga dialami di
negara-negara maju. Penyebabnya adalah peran sektor jasa yang terus
meningkat. Inilah fenomena yang disebut the post-industrial economy (Jean-Luc Biacabe, Institute Friedland, 2016).
Kombinasi antara proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah
dengan cepat dan penurunan peran manufaktur menyisakan pertanyaan
tentang kehebatan industri 4.0. Belum lagi, industri 4.0 masih
menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatif terhadap penciptaan
lapangan pekerjaan. Bukan hanya itu, majalah The Economist
(6/4/2018) juga prihatin bahwa era kecerdasan buatan juga menyebabkan
hilangnya privasi seseorang akibat persebaran data digital secara mudah.
Tiada tempat lagi bagi data untuk disembunyikan.
Satu hal sudah pasti bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak
mungkin menolak ataupun menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan
dan kita harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang
bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia dan para tetangga
kawasan?
Jeffrey Sachs Center (2017) mencatat, lebih dari setengah penduduk ASEAN
yang berjumlah 629 juta orang berusia di bawah 30 tahun; di mana 90
persen berusia 15-24 tahun yang familier terhadap internet dan dunia
digital. Ini merupakan modal besar yang bisa menciptakan tambahan output 1 triliun dollar AS sehingga PDB kawasan ini mencapai 5,25 triliun dollar AS pada 2025.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina,
Thailand, Vietnam, dan Kamboja akan memindahkan 56 persen pekerjaan ke
otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang. Adapun 54 persen pekerja
Malaysia terancam kehilangan pekerjaan. Semuanya tampak suram kecuali
Singapura yang kini penduduknya 5,6 juta orang.
Oleh karena itu, mau tidak mau, antisipasi dini harus dilakukan.
Pemerintah Indonesia pun menyusun peta jalan dan strategi dalam memasuki
era digital, Making Indonesia 4.0, yang diluncurkan Presiden Joko
Widodo pada 4 April 2018. Indonesia akan fokus pada lima sektor
manufaktur unggulan: (1) industri makanan dan minuman, (2) tekstil dan
pakaian, (3) otomotif, (4) kimia, dan (5) elektronik. Kelima area
manufaktur tersebut berkontribusi besar terhadap PDB dan memiliki daya
saing internasional.
Jadi, apakah industri 4.0 merupakan peluang atau ancaman? Tidak ada yang
bisa memastikannya. Kedua karakter tersebut bisa hadir bersamaan. Semua
negara, baik maju maupun berkembang, kini berada pada kegalauan yang
sama. Sejauh ini mungkin hanya Singapura saja yang berani mengklaim
dampak positifnya lebih besar.
Terlepas dari bagaimana proses ini kelak akan berujung, antisipasi untuk semakin membangun modal manusia (human capital)
untuk mengiringi laju pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi
kian menemukan konteks dan prioritasnya. Industri 4.0 memang tidak
sampai mengenyahkan seluruh penggunaan tenaga kerja. Namun, hanya mereka
yang berkualifikasi tertentu yang bisa bertahan di sektor manufaktur.
Lainnya akan diserap sektor nonmanufaktur dan sektor informal.
Sumber : Kompas