Saya mampir beli cakue. Di pinggir gang. Di pedagang kaki lima.
Ternyata sayalah satu-satunya orang yang membayar dengan uang. Padahal ini di
dalam gang. Di kaki lima.
Saya sengaja berdiri sekitar 15 menit. Di gang itu. Untuk
menghitung pembeli. Khususnya yang masih membayar dengan uang.
Ternyata tetap saja hanya saya sendiri. Pembeli lainnya membayar
pakai hand phone: WeChat atau AliPay.
Lihatlah beberapa foto yang saya sertakan di sini. Orang yang
beli makanan di kaki lima itu senjatanya hanya hand phone. Bukan lagi dompet.
Padahal harga makanan itu hanya satu renminbi. Atau sekitar Rp
2.000. Benar-benar uang kecil pun tidak diperlukan di Tiongkok.
Malamnya saya makan di restoran. Juga jadi orang aneh. Orang
kuno. Satu-satunya yang saat itu membayar dengan uang.
Keesokan harinya saya naik kereta peluru. Kecepatannya 300
km/jam. Dari Xiamen ke kabupaten Quanzhou. Sejauh 200 km. Hanya 25 menit.
Saya lagi membayangkan dari Surabaya ke kampung saya di Magetan.
25 menit. Saya juga satu-satunya orang yang membeli tiket dengan uang: 25 RMB.
Sekitar Rp 50.000. Jauh lebih murah dari karcis tol baru antara
Surabaya-Kertosono.
Hanya Kertosono.
Stasiun kereta peluru ini ternyata di luar kota. Ongkos taxinya
60 RmB. Dua kali lebih mahal dari harga tiket kereta pelurunya.
Malam tadi saya balik ke Xiamen. Kali ini pilih kereta cepat: 200
km/jam. Bukan kereta peluru. Tiketnya lebih mahal: 35 RMB. Ini karena bisa
berhenti di stasiun kota Xiamen. Tidak perlu ada ongkos taksi yang mahal itu.
Sekali lagi saya jadi satu-satunya orang yang beli tiket kereta
cepat dengan uang kontan. Meski hanya 35 RMB. Tiga lembar sepuluhan dan satu
lembar lima renminbian.
Petugas memasukkan tiga lembar uang saya itu ke mesin. Hanya 35
RMB. Diperiksa palsu atau tidak. Sampai dua kali.
Rupanya sudah lama
petugas itu tidak lihat uang. Kepekaan jarinya rupanya sudah berubah. Tidak
bisa lagi meraba perbedaan lembar asli dan palsu.
Di Quanzhou saya makan siang. Di mie favorit saya: Lanzhou
Lamian. Mie tarik Lanzhou. Saat mulai duduk pelayannya menunjuk sudut meja saya.
Di situlah tertempel barcode. Dia bilang: bayarnya nanti di pojok
meja itu. Saya bilang bahwa saya akan bayar pakai uang.
Dia tampak kaget. Lalu lapor ke atasannya. “Ok,” jawab pelayan
itu. Setelah berkonsultasi dengan bosnya. Untuk urusan bayar dengan uang tunai!
Saat tiba waktunya membayar, terjadi lagi apa yang saya lihat di
stasiun. Kasirnya lama sekali mengamati uang itu. Palsu atau tidak.
Dibolak-balik. Baru ok.
Begitulah, saya pernah jadi orang modern: membayar dengan credit
card. Kini credit card sudah menjadi kuno. Bahkan lembaran uang pun sudah
menjadi usang.
Quangzhou adalah kabupaten. Satu kabupaten di provinsi Fujian.
Pelabuhannya pernah menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Di zaman
Mojopahit.
Entah berapa puluh ribu orang Hokkian (Fujian) yang pernah
menggunakan pelabuhan ini. Zaman itu. Dan zaman berikutnya. Untuk xia nan yang.
Mencari hidup baru di wilayah selatan. Yang kelak di tahun 1900-an wilayah itu
bernama Indonesia.
Kini pelabuhan itu masih ada. Bekasnya. Sudah sangat usang. Sudah
lebih sepi dari pelabuhan Donggala. Hanya perahu-perahu nelayan yang mangkal di
situ. Dengan wujud yang tidak bergairah.
Zaman terus bergerak. Yang modern jadi kuno. Yang besar jadi
punah. Hidup terus maju. Meninggalkan siapa pun yang tidak setuju.
Zaman sudah berubah, yg gak mau ikut berubah ya di
tinggalkan......
Itulah China zaman now.
Oleh : Dahlan iskan