Pada saat dunia mengunggul-unggulkan kemajuan teknologi,
kita sering lupa pada semangat dan kekuatan manusiawi. Beberapa hari yang lalu
dunia diguncang oleh suatu peristiwa kemanusiaan yang ketegangannya mengalahkan
tontonan pertandingan sepak bola dunia.
Ekapol Chanthawong yang biasa di panggil dengan julukan “Brother
ekk”, yatim piatu yang selama sepuluh tahun menghuni biara buddhis, tetapi terpaksa
keluar karena harus merawat neneknya, tiba-tiba menjadi pusat berita karena
membawa tim sepak bola yang terdiri atas 12 bocah laki-laki berusia 11-16
tahun, terjebak dalam gua. Kondisi air pasang dan kegelapan ekstrem serta
oksigen yang terbatas pasti membuat anak-anak ini merasakan kecemasan,
kekhawatiran, bahkan putus asa.
Namun, yang menakjubkan para penyelamat ketika menemukan
mereka 10 hari setelah kabar hilangnya mereka, selain bahwa mereka masih hidup
tanpa makan dan minum cukup, adalah betapa tenangnya anak-anak ini. Para penyelam
kawakan bahkan sampai merasa takut, mengira mereka berhalusinasi ketika
menemukan anak-anak ini sedang duduk bermeditasi.
Mereka memang terlihat kurus dan lemah, tetapi dalam keadaan
spiritual yang sehat, tersenyum ketika menghadapi kkamera, bahkan bisa tertawa
ketika para anggota Thai Navy Seal mencoba bergurau. Ekapol termasuk kondisinya
paling lemah karena selam 9 hari ia menghemat makanan yang mereka miliki dan
membaginya diantara anak-anak itu.
MISI CINTA PENUH
HARAPAN
Gubernur provinsi Chiang Rai Narongsak Osottanakorn
mengatakan bahwa ini adalah upaya yang suram dan beresiko, tetapi akan
dijalankan dengan penuh rasa kemanusiaan dan cinta kasih. Admiral Arpakorn
komandan Navy Seal Thailand mengatakan bahwa harapan penyelamatan sangat tipis.
Jalan satu-satunya untuk keluar dari gua tersebut adalah
dengan menempuh rute penyelaman yang sesulit pendakian Mount Everest,
dengan bottle neck sekitar 65
sentimeter sehingga mereka harus melepas tabung oksigen mereka ditengah
penyelaman itu. Sementaratidak semua anak-anak itu mampu berenang.
Saman Kunan, 39 tahun, mantan anggota Thai Navy Seal, yang
merupakan salah satu penyelam pertama yang membawa tangki oksigen kedalam gua,
tewas karena kekurangan oksigen. Sebelum berangkat, ia menuliskan dalam akun
twitternya: “we will bring the kids home”. Ben Reymennats, yang termasuk salah
satu penyelam yang menemukan mereka untuk pertama kalinya menggambarkan betapa
sulitnya medan dengan zero invisibility
ini mengatakan bahwa misi ini adalah misi yang hamper impossible. Namun, terngiang
suara-suara dan semangat anggota Navy
Seal yang tidak mau tinggal diam bahkan bersedia mengorbankan nyawanya seperti
Saman Kuman itu.
Mereka seusia anak-anak saya, tetapi bagaimana semangat
penyelamatan mereka begitu kuat? Ia mengatakan, “Normally, I’d just turn around. But then normaly I don’t have 12 boys,
and their entire lives, as an endpoint.” Dalam ancaman kekurangan oksigen
dan air pasang yang lebih tinggi ini, kurang lebih 100 ahli penyelam, pendaki
gunung dan penjelajah gua, melakukan brainstorming
menyiapkan berbagai contingency plans
untuk mengeluarkan satu persatu anak dan pelatih yang sudah melemah ini.
“Stop, breathe, let everything
go”
18 hari menegangkan yang terasa bertahun-tahun ini dirasakan
oleh kedua belah pihak. Di satu pihak adalah para orang tua, pemerintah daerah,
dan para ahli yang tidak melewatkan satu menit pun untuk merencanakan upaya
penyelamtan. Di pihak lain daalah anak-anak dan pelatih mereka dalam gua yang
terus berjuang untuk bertahan hidup.
Brother ekk yang ditemukan dalam kondisi lemah kelaparan
ternyata membawa pengaruh besar dalam mental dan semangat ke-12 anggota tim. Keahliannya
bermeditasi diturunkan kepada anak-anak itu, untuk menjaga kekuatan diri mereka
dan tetapmemiliki pikiran positif yang penuh cinta kasih. Dengan latihan
meditasi, para pemuda ini berhasil melepas ketakutan dan pikiran negatif, menerima
dengan sabar kondisi mereka ini dan bukan melawan keadaan.
Omar Reygadas penambang Chili yang terjebak selama 69 hari
menyatakan kekagumannya terhadap anak-anak ini. Ia mengatakan, “mereka boleh
menangis dan khawatir. Itu juga terjadi pada orang dewasa seperti kami dulu. Namun,
yang terlihat justru adalah semangat kelompok, ketenangan dan kesabaran mereka
menunggu.” Michael Poulin, Professor psikologi dari State University Of New
York, Buffalo, mengomentari keadaan ini, “Feeling loved and cared for is
paramount.”
Dominasi Unsur
Kemanusiaan
Walaupun menggunakan kecanggihan kekuatan penyedot air dari
dalam gua, teknik-teknikk penyelaman dan penyelamatan, kita tidak bisa
melupakan kekuatan keberanian, semangat melawan maut tim penyelamat yang masuk
ke gua beserta dengan segenap ,masyarakatyang menyumbangkan apapun yang mereka
mampulah yang dominan dalam misi penyelamatan ini.
Ada penjual sayur yang alih-alih menjual sayurnya ke pasar
malah menyumbangkannya untuk konsumsi tim penyelamat. Ada yang memasrhakan
sawahnya digenangi air dari gua, ada yang mmebersihkan alat selam untuk bisa
dipaki lagi keesokan harinya dan ada yang menyumbangkan tenaganya membersihkan
WC untuk tim penyelamat serta berjanji tidak akan pulang sampai anak-anak itu
selamat. Tidak ada pertanyaan mengenai bangsa, suku, bahkan agama dari mereka yang datang dan bergabung dalam
tim.
Dokter Richard Harris yang berada bersama dengan anak-anak
itu didalam gua selama 3 hari untuk mengevaluasi dan menjaga kesehatan mereka,
ternyata dalam masa sulit karena ayahnya meninggal ketika ia sedang dalam misi
tersebut. Orang tua mematuhi semua instruksi yang diberikan. Pers tidak gegabah
untuk menanyakan hal-hal jyang menimbulkan kehebohan. Semua orang, bahkan
seluruh dunia menahan nafas dan mendukung penyelamatan sepenuh hati.
Kita lihat bahwa
semangat sering membawa magic yang
tidak masuk akal manusia, mengalahkan kepintaran tim Space X Elon Musk dengan
pembuatan kilat kapal sela mininya, yang digembar-gemborkan lewat media sosial.
Masikah kita ragu akan kekuatan spirit dan jiwa manusia?
Sumber : Eileen Rachman & Emilia Jakob