Saya sedang duduk-duduk bersama sahabat lama, ingin melepas rindu sambil melihat indahnya pantai pulau Bali dan kerinduan justru hadir di pulau ini. Entah mengapa kualitas hidup saya selalu menjadi lebih baik kalau berada ditempat ini.
Teman-teman yang saya temui atau yang melihat foto-foto saya di media sosial selalu berkata: “kulitmu bersinar dan kelihatan sehat dan muda.”
Iba
Sore itu kami berbincang-bincang cukup lama sampai waktunya
kami harus beranjak pulang. Pelayan memberi bon dan kami membayarnya. Saat
itulah saya menanyakan bagaimana keadaan rumah makan selama pendemi yang masih
harus berlangsung hingga sekarang ini.
Ia menjelaskan, situasi sekarang ini sudah sedikit lebih
baik ketimbang kondisi setahun lalu. “Tetapi ya gitu, Mas. Saya kasihan sama
bos saya. Mereka masih harus nalangin
untuk urusan operasional. Meski keadaan resto sudah lebih baik tapi belum
mencukupi.”
“Saya itu kasihan kalau lihat bapak sama ibu. Mereka kan
juga membutuhkan uang untuk kehidupan dan kebutuhan mereka juga. Maka kami
disini bersepakat bekerja lebih rajin agar dapat membantu mereka.” Angin pantai
sore itu bertiuop sopoi-sepoi menyejukan tetapi benak saya jauh dari sejuk
mendengar penjelasannya sore itu.
Pertama kali dalam hampir 40 tahun bekerja, baik sebagai
karyawan maupun pemilik perusahaan, belum pernah saya mendengar barang sedetik pun,
kalau ada karyawan yang merasa iba dan sangat memperdulikan kondisi pemilik
perusahaan agar mereka tidak menjadi sengasara karena situasi yang sebetulnya
diluar batas tanggung jawab mereka.
Sore itu saya tak cuma geleng kepala, tetapi juga malunya
setengah mati, perasaan tersindir langsung menyelinap masuk ke dalam hati. Perasaan
campur aduk yang saya rasakan sore itu. Sambil berjalan kaki menuju ke luar
hotel legendaris dan eksotis itu, saya melayangkan lamunan pada masa menjadi
karyawan.
Pertanyaan datang bertubi-tubi dalam kepala. Sebagai karyawan
apakah saya peduli dengan pemilik perusahaan? Apakah saya turut merasakan
kebutuhan mereka kalau seandainya usaha tidak berjalan dengan semestinya?
Apakah saya dan kawan-kawan mau bersepakat bekerja lebih
keras agar perusahaan maju, pemilik perusahaan tak kehilangan usahanya dan pada
akhirnya menyejahterakan saya sebagai karyawan?
Tidak Iba
Mau tahu jawabannya? Saya yakin anda sudah tahu. Tentu tidak.
Tidak sama sekali. Sebagai karyawan saya tak peduli. Hal yang saya pedulikan
adalah saya, saya, dan saya. Saya berprestasi untuk saya, bukan untuk
perusahaan meski menggunakan fasilitas mereka.
Saya menuntut kenaikan upah dan sejuta permintaan karena
saya telah bekerja dengan luar biasa. Saya menggunakan mobil kantor untuk
urusan pribadi, mampir sebentar kesana dan kemari dalam jam kerja. Saya bahkan
mencetak surat lamaran di mesin cetak perusahaan tanpa ada rasa bersalah.
Saya tak peduli dengan tenggat waktu. Saya membiarkan atasan
yang panik kalau tenggat waktu sudah terlewati. Bahkan saya berpikir upah
atasan saya jauh lebih besar, jadi biarkan itu menjadi urusannya. Panik adalah
bagian dari diberikan upah besar.
Saya bekerja sampai larut malam tanpa berpikir listrik yang
mereka harus bayar. Saya tak peduli berapa biaya yang harus mereka keluarkan
untuk pembayaran telepon. Kalau itu pun semua untuk kepentingan kemajuan usaha,
saya selalu berpikir itu sudah menjadi tanggung jawab mereka.
Sudah sewajarnya mereka mempersiapkan dana yang cukup dan
mampu untuk dapat melangsungkan jalannya usaha. Sebagai karyawan itu bukan
tanggung jawab saya, itu tidak tertulis dalam kontrak kerja. Maka sore itu
ketika saya mendengar cerita karyawan rumah makan yang memedulikan pemilik
perusahaan dan merasa kasihan dan memikirkan kebutuhan hidup mereka, saya
malunya setengah mati. Saya yang katanya mengenyam pendidikan tinggi, tak dapat
berpikir sederhana dan sedalam itu. Mungkin karena saking tingginya pendidikan
itu.
Selama saya menjadi karyawan, saya tak pernah merasa iba,
apalagi terlintas memikirkan kelangsungan hidup pemilik perusahaan kalau-kalau
usaha ini tak berjalan seperti mestinya. Saya tak pernah memberi ide kepada
sesama kolega kerja untuk bekerja lebih rajin agar perusahaan dapat maju,
bagaimana mau memberi ide itu kalau berpikir untuk rajin saja tak ada sama
sekali.
Saya berjalan pulang, melintas hari yang semakin gelap. Saya
malu tak bisa seperti mbak karyawan rumah makan itu. Saya hanya bisa menyesal
dan menikmati nasi yang telah menjadi bubur.
Penulis :Samuel Mulia