Ketepurukkan ini bisa dialami oleh siapa saja. Seorang
ilmuwan yang obat terbarunya sudah tinggal dipasarkan, tiba-tiba mendapatkan
informasi bahwa obat tersebut memiliki dampak negatif. Pemain basket pada masa
keemasannya tiba-tiba mengalami cedera dan tidak bisa mengikuti turnamen yang
paling penting. Hal ini tentunya bisa menimbulkan frustasi.
Namun, ada sebagian orang yang berhasil mengatasinya.
Sebuah penelitian meunjukkan ada 10 persen dari populasi mantan karyawan sebuah
perusahaan telekomunikasi di Belanda yang tutup karena perkembangan
digitalisasi, yang mampu bangkit dari rasa frusatasi dan berhasil melakukan hal
lain di luar pekerjaannya yang lama.
Mereka ini pasti memiliki kelebihan dari orang
rata-rata. Inilah yang dinamakan resilience.
Kemampuan untuk bangkit dan memulai sesuatu dari no lagi. Dunia politik dan
bisnis memang kejam. Apalagi perubahan yang terjadi sekonyong-konyong terjadi
dimana-mana sekarang ini. Bisa saja, tiba-tiba kenyamanan kita terganggu.
Kapasitas individu untuk menyesuaikan diri dan bahkan menghadapi stres inilah
yang dinamakan resilience atau daya
lenting.
Menurut para ahli, resilience ini adalah ketrampilan,
bukan bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, kita bisa mempelajarinya.
“Resilience” itu dinamis
Ketika merasa menjadi korban, baik itu PHK maupun
menghilangnya pelanggan-pelanggan, kita cenderung bereaksi defensive. Inilah
yang tidak terjadi pada orang-orang dengan daya lenting yang kuat. Orang
sebenarnya bisa belajar untuk menjadi lebih tangguh. Latihan kemiliteran,
misalnya, bisa membuat seseorang yang tadinya mungkin terlihat lemah menjadi
orang yang kuat dan keras.
Di dunia kerja, apa ciri orang dengan resilience
tinggi? Biasanya orang-orang ini pandai membina hubungan dengan orang lain. Ia
kuat mendengar aktif dan selalu responsive terhadap apa yang dibutuhkan orang
lain. Walaupun dirinya terkena dampak krisis, sesorang dengan resilience yang
kuat, tidak akan terfokus memikirkan dirinya sendiri terus menerus.
Dengan sikap yang banyak menolong dan memperhatikan
orang lain, ia lebih mudah mengembangkan hubungan saling percaya dengan orang
lain. Dengan mudah, ia bisa mendapatkan social support dari orang lain.
Banyak sekali tingkah lakunya yang didasarkan pada values dan
keyakinannya. Dari sinilah terlihat grit yang dimiliki seseorang.
Apa itu “grit”
Grit adalah passion atau ketekunan untuk
mencapai sasaran jangka panjang yang bermakna baginya. Passion ini bukanlah
emosi sesaat yang tiba-tiba muncul dan kemudian tenggelam. Mereka yang memiliki
grit pun pastinya tidak lepas dari mengalami kendala dan hambatan.
Namun, dengan grit, ia dapat bertahan dengan
tugas yang sulit dan membosankan sekalipun, serta bangkit kemali
manakala mengalami kejatuhan.
Orang-orang dengan grit yang kuat biasanya
melihat pekerjaannya lebih meaningful. Apapun hasil yang didapat, selalu
dihayati sebagai sebuah proses belajar. Oleh karena itu, pada saat menghadapi
kegagalan pun, ia tetap dapat postif dan tidak merasa terlalu jatuh dalam.
Komitmen, kontrol, dan tantangan
Komitmen sangat penting untuk menambah kekuatan daya
lenting. Seseorang yang sudah terlatih untuk melibatkan dirinya dalam pekerjaan
apa pun, bisa menjadi orang yang berkomitmen penuh untuk membuat impact
pada hasil pekerjaannya. Ia berusaha menjaga keseluruhan prosesnya. Ia pun
senantiasa menganggap pekerjaan sebagai sebuah tantangan. Jadi, ketika
pekerjaan yang sedang digelutinya itu hilang, dengan mudah ia membawa komitmen,
control, dan tantangannya ke bidang lain.
Pada krisis ekonomi Thailand pada tahun 1997, seorang
pemilik perusahaan penerbangan, terpaksa mengembalikan pesawat-pesawat yang
dibelinya karena tak sanggup membayar cicilannya dengan dollar yang sudah
bernilai 3-4 kali lipat. Ia bangkrut dan terpuruk. Namun, tidak lama kemudian
ia sudah terlihat di jalanan, menjajakan sandwich yang dalam waktu
singkat menjadi terkenal. Saat sekarang gerainya ada di mana-mana, ia berhasil
sukses dengan bisnis makanan ini. Orang ini tidak merasa jatuh dan tidak bisa
bangun kembali. Ia tahu bahwa keterpurukan dan perubahan adalah bagian dari
hidupnya, sebuah proses yang memang harus dijalani.
Jadi bagaimana kita mengembangkan kekuatan ini?
Pertama, positivity. Positivitas adalah lawan
dari keadaan burn out atau kelelahan. Orang yang memiliki energy positif
yang tinggi tidak pernah mengalah pada keadaan. Ia memusatkan energinya pada
pekerjaannya untuk mencapai tujuannya.
Kedua, wawasan emosional. Beberapa eksekutif yang saya
temui, ada yang sama sekali tidak mau memikirkan keadaan emosinya dan emosi
orang lain. Mereka melihat emosi sebagai sesuatu yang datar saja. Ini berbahaya
karena bisa saja suatu saat ia terpukul sedara emosional. Seyogianya setiap
orang berusaha menelaah apa yang ia rasakan dan memperkaya pengetahuannya
mengenai berbagai rasa, dari yang negatif sampai yang positif. Psychologically
resilent individuals dan be sedcribed as emotionally intelligent (Tugade
& Fredrickson, 2004)
Ketiga, balanca. Orang yang resilient
sudah terbiasa mengambil jarak dari pekerjaannya dan beristirahat sejenak.
Walaupun pekerjaan memakan konsentrasi dan komitmen penuh, ia tetap bisa
menjaga keseimbangan emosinya dan hidupnya, antara kerja dan kehidupan di luar
pekerjaan.
Keempat, spiritualitas. Kita juga tidak bisa
meniadakan peranan sikap religious dalam menghadapi kesulitan. Kekuatan
keyakinan dan hubungan dengan Yang Maha Esa, membuat kita yakin bahwa ada
kekuatan lain yang mengatur nasib kita, menentukan garis hidup kita meskipun
juga dengan kesadaran bahwa ikhtisar tetap sangatlah penting. Kekuatan iman ini
juga bisa membangun pribadi yang kuat.
Sumber : Eileen Rachman dan Emilia Jakob