30 Agustus 2019

"Resilience"

Kita melihat banyak contoh orang yang terpuruk sampai ke dasar. Masih ingat dengan pemilik Siomay Pink, yang begitu terkenalnya beberapa tahun lalu sampai-sampai ia memiliki puluhan outlet. Namun, karena tidak bisa mengelola uangnya, ia akhirnya bangkrut dan tidak memiliki apa-apa lagi. Namun, ini bukan berarti ia tidak berusaha lagi. Ia mulai kembali dari nol, menjual Siomay dengan sepeda dan sekarang ia sudah memiliki satu warung lagi.

Ketepurukkan ini bisa dialami oleh siapa saja. Seorang ilmuwan yang obat terbarunya sudah tinggal dipasarkan, tiba-tiba mendapatkan informasi bahwa obat tersebut memiliki dampak negatif. Pemain basket pada masa keemasannya tiba-tiba mengalami cedera dan tidak bisa mengikuti turnamen yang paling penting. Hal ini tentunya bisa menimbulkan frustasi.

Namun, ada sebagian orang yang berhasil mengatasinya. Sebuah penelitian meunjukkan ada 10 persen dari populasi mantan karyawan sebuah perusahaan telekomunikasi di Belanda yang tutup karena perkembangan digitalisasi, yang mampu bangkit dari rasa frusatasi dan berhasil melakukan hal lain di luar pekerjaannya yang lama.

Mereka ini pasti memiliki kelebihan dari orang rata-rata. Inilah yang dinamakan resilience. Kemampuan untuk bangkit dan memulai sesuatu dari no lagi. Dunia politik dan bisnis memang kejam. Apalagi perubahan yang terjadi sekonyong-konyong terjadi dimana-mana sekarang ini. Bisa saja, tiba-tiba kenyamanan kita terganggu. Kapasitas individu untuk menyesuaikan diri dan bahkan menghadapi stres inilah yang dinamakan resilience atau daya lenting.

Menurut para ahli, resilience ini adalah ketrampilan, bukan bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, kita bisa mempelajarinya.
 
“Resilience” itu dinamis
Ketika merasa menjadi korban, baik itu PHK maupun menghilangnya pelanggan-pelanggan, kita cenderung bereaksi defensive. Inilah yang tidak terjadi pada orang-orang dengan daya lenting yang kuat. Orang sebenarnya bisa belajar untuk menjadi lebih tangguh. Latihan kemiliteran, misalnya, bisa membuat seseorang yang tadinya mungkin terlihat lemah menjadi orang yang kuat dan keras.

Di dunia kerja, apa ciri orang dengan resilience tinggi? Biasanya orang-orang ini pandai membina hubungan dengan orang lain. Ia kuat mendengar aktif dan selalu responsive terhadap apa yang dibutuhkan orang lain. Walaupun dirinya terkena dampak krisis, sesorang dengan resilience yang kuat, tidak akan terfokus memikirkan dirinya sendiri terus menerus.
Dengan sikap yang banyak menolong dan memperhatikan orang lain, ia lebih mudah mengembangkan hubungan saling percaya dengan orang lain. Dengan mudah, ia bisa mendapatkan social support dari orang lain. Banyak sekali tingkah lakunya yang didasarkan pada values dan keyakinannya. Dari sinilah terlihat grit yang dimiliki seseorang.

Apa itu “grit”
Grit adalah passion atau ketekunan untuk mencapai sasaran jangka panjang yang bermakna baginya. Passion ini bukanlah emosi sesaat yang tiba-tiba muncul dan kemudian tenggelam. Mereka yang memiliki grit pun pastinya tidak lepas dari mengalami kendala dan hambatan.
Namun, dengan grit, ia dapat bertahan dengan tugas yang sulit dan membosankan sekalipun, serta bangkit kemali manakala mengalami kejatuhan.
Orang-orang dengan grit yang kuat biasanya melihat pekerjaannya lebih meaningful. Apapun hasil yang didapat, selalu dihayati sebagai sebuah proses belajar. Oleh karena itu, pada saat menghadapi kegagalan pun, ia tetap dapat postif dan tidak merasa terlalu jatuh dalam.

Komitmen, kontrol, dan tantangan
Komitmen sangat penting untuk menambah kekuatan daya lenting. Seseorang yang sudah terlatih untuk melibatkan dirinya dalam pekerjaan apa pun, bisa menjadi orang yang berkomitmen penuh untuk membuat impact pada hasil pekerjaannya. Ia berusaha menjaga keseluruhan prosesnya. Ia pun senantiasa menganggap pekerjaan sebagai sebuah tantangan. Jadi, ketika pekerjaan yang sedang digelutinya itu hilang, dengan mudah ia membawa komitmen, control, dan tantangannya ke bidang lain.

Pada krisis ekonomi Thailand pada tahun 1997, seorang pemilik perusahaan penerbangan, terpaksa mengembalikan pesawat-pesawat yang dibelinya karena tak sanggup membayar cicilannya dengan dollar yang sudah bernilai 3-4 kali lipat. Ia bangkrut dan terpuruk. Namun, tidak lama kemudian ia sudah terlihat di jalanan, menjajakan sandwich yang dalam waktu singkat menjadi terkenal. Saat sekarang gerainya ada di mana-mana, ia berhasil sukses dengan bisnis makanan ini. Orang ini tidak merasa jatuh dan tidak bisa bangun kembali. Ia tahu bahwa keterpurukan dan perubahan adalah bagian dari hidupnya, sebuah proses yang memang harus dijalani.

Jadi bagaimana kita mengembangkan kekuatan ini?
Pertama, positivity. Positivitas adalah lawan dari keadaan burn out atau kelelahan. Orang yang memiliki energy positif yang tinggi tidak pernah mengalah pada keadaan. Ia memusatkan energinya pada pekerjaannya untuk mencapai tujuannya.

Kedua, wawasan emosional. Beberapa eksekutif yang saya temui, ada yang sama sekali tidak mau memikirkan keadaan emosinya dan emosi orang lain. Mereka melihat emosi sebagai sesuatu yang datar saja. Ini berbahaya karena bisa saja suatu saat ia terpukul sedara emosional. Seyogianya setiap orang berusaha menelaah apa yang ia rasakan dan memperkaya pengetahuannya mengenai berbagai rasa, dari yang negatif sampai yang positif. Psychologically resilent individuals dan be sedcribed as emotionally intelligent (Tugade & Fredrickson, 2004)

Ketiga, balanca. Orang yang resilient sudah terbiasa mengambil jarak dari pekerjaannya dan beristirahat sejenak. Walaupun pekerjaan memakan konsentrasi dan komitmen penuh, ia tetap bisa menjaga keseimbangan emosinya dan hidupnya, antara kerja dan kehidupan di luar pekerjaan.

Keempat, spiritualitas. Kita juga tidak bisa meniadakan peranan sikap religious dalam menghadapi kesulitan. Kekuatan keyakinan dan hubungan dengan Yang Maha Esa, membuat kita yakin bahwa ada kekuatan lain yang mengatur nasib kita, menentukan garis hidup kita meskipun juga dengan kesadaran bahwa ikhtisar tetap sangatlah penting. Kekuatan iman ini juga bisa membangun pribadi yang kuat.


 Sumber : Eileen Rachman dan Emilia Jakob